Kau Dan ACI
“Maaf kawan. Mungkin bila kuubah dari awal, tidak mungkin jadi begini,” ucap Ito benar-benar menyesal. Memang Tiger bermain maksimal, tapi dari awal Tiger sudah salah strategi. Mungkin bukan salah, hanya saja keliru.
Amir tidak menyangka. Ternyata temannya sungguh terbuka untuk siapapun, tapi perasaannya berkata sedikit ragu saat mendengar keinginan Cici untuk mencoba berbaikan dengan Wati. Amir sempat bingung, kenapa berbaikan, sedangkan yang selalu mencari gara-gara selalu Wati duluan yang mulai, entah dengan Amir, Cici atau bahkan dengan Ito yang pendiam sekalipun. “Daripada kita terus-terusan berselisih? Sebaiknya kita berteman. Itu akan lebih baik,” ucap Cici dengan sedikit tersenyum membayangkan bagaimana memiliki teman perempuan sepermainan. “Kau tahu sendirikan bagaimana sifat Wati, Ci?” ucap Amir meyakinkan. Cici mengangkat bahunya. “Kita lihat saja,” ucap Cici ringan.
Keesokan harinya Amir mengajak Cici untuk bermain. Sepak bola, ya.. permainan favorit Amir dan Ito. Tentu saja tidak untuk Cici. Tapi entah kenapa selalu saja mereka melakukan apa saja bertiga yah walaupun itu sepak bola, Cici biasanya sebagai penyemangat untuk teman-temannya. “Gooool,” Tak lama kesebelasan Tiger (kesebelasan Amir) bersama-sama berteriak karena Made berhasil memasukkan bola kedalam gawang dan tentu saja membobol pertahanan Ito. “Kau hebat Made,” Puji Amir pada Made. “Waw. Bila bola tadi mengenaiku, itu akan sangat sakit,” ucap Ito sembari tersenyum sambil membenahi kacamatanya yang sedikit goyang karena mencoba menahan serangan dari Made. Made hanya senyum tipis mendengar perkataan teman-temannya.
Mereka mencari tempat duduk yang teduh setelah puas bermain sepak bola yang sedikit menguras tenaga. “Aku akan cari minum dulu,” Ijin Made kapada teman-temannya.
“Dingin ya, De!” Teriak Cici yang sedikit membuat telinga Amir membengkak karena duduk disamping Cici. Amir memukul pelan lengan Cici, tapi bukannya minta maaf Cici malah hanya tertawa melihat Amir yang sedang memegang telinganya, menutupnya dengan telapak tangan.
“Yang bermain kita, yang haus kamu, Ci,” ucap Ito membuat Cici tersipu. Sejenak sunyi menyapa, sepertinya mereka sedang menikmati semilir angin yang sedari tadi menerpa.
Ternyata sedari tadi ada sepasang manik mata yang mengamati kegiatan mereka. “Dasar centil. Carmuk aja kerjaannya!” ucap Wati berhenti didepan Amir, Cici dan Ito.
“Siapa?” ucap Ito ketus.
“Eh, Wati, gabung sini kita kumpul-kumpul bareng,” ucap Cici tak lupa senyumnya.
“Ngga usah! Makasih,” ucap Wati sambil berjalan menjauh.
“Kau masih berusaha?” Tanya Amir pada Cici yang tak terlihat sesemangat tadi.
“Mencoba apa?” ucap Made sambil memberikan Minum yang tadi ia beli, memang ia sengaja membeli tiga belas. Karena tahu Amir akan minum lebih banyak air setelah mandi keringat seperti tadi.
“Ayo kita main lagi,” ajak Made pada dua kawan barunya. Ya...kawan baru, karena ia baru saja pindah kedesa kami seminggu yang lalu. Tapi mendengar ucapan Made, Cici malah pamit akan pulang lebih awal.
“Kenapa dia?” Tanya Made bingung melihat sikap Cici yang tidak seperti biasanya.
“Dia mencoba berteman dengan Wati,” ucap Amir sambil menuju ketengah lapangan.
“Wati? Bisakah?” Ucap Made kaget.
“Sudahlah, biarkan dia mencoba. Ayo!” Amir sedikit menarik Made karena terlalu lama berjalan.
Tak terasa hari mulai gelap, bulan pun bersiap untuk menggantikan matahari. Pemandangan yang amat indah, pikir Cici yang sedang asik menikmati keindahan alam tempat dimana ia pindah. Benar-benar sensasi baru dalam hidup Cici. Biasanya yang ia lihat hanya taman, halte, jalan raya, dan terus begitu. Tapi lamunan Cici sedikit terganggu karena suara berat Amir membuyarkannya.
“Cici...Cici...,” ucap Amir saat berada didepan rumah Cici.
“Amir. Ada apa? Tumben kamu yang mencariku,” ucap Cici setelah mempersilahkan Amir masuk.
“Kau sibuk?” Cici hanya mengeleng pelan.
“Temani aku memberitahu anak-anak Tiger untuk besok berlatih lebih pagi,” ucap Amir datar.
“Oke,” ucap Cici sembari berdiri dan keluar bersama Amir. Tak terasa Amir dan Cici sudah sampai dirumah Faldi.
“Wah kapten kita datang. Kebetulan kami sedang disini semua. Eh ada Cici juga,” Ucap Faldi setelah melihat siapa yang mengganggunya bermain PSP.
“Eh, lagi pada disini? Wah ngga ajak-ajak,” Ucap Amir sambil berjalan masuk. Cici? Amir kesini bersama Cici? Apakah dia lupa bahwa kawannya ada yang menaruh harapan pada Cici? Ya... Ito. Ito pernah mengatakan pada Amir, hanya pada Amir bila ia sejujurnya menaruh hati pada senyum Cici, sifat Cici, dan segala yang ada dalam diri Cici, tapi kenapa Amir masih saja dekat dengan Cici layaknya sepasang kekasih. Dikit dikit Cici, dikit dikit Cici. Tapi Amir juga tak bisa disalahkan, karena ia tak tahu bila ada Ito dirumah Faldi.
“Tak apa... Ito, diakan sahabatku dari kecil, mana mungkin Ito tidak memaafkanku,” Batin Amir mencoba berfikir yang baik-baik saja.
“Besok jangan sampai telat ya,” Pesan Amir pada anak buahnya.
“Ya, kau juga. Jangan sampai kau yang menyuruh kami datang lebih pagi, tapi nanti kau yang telat,” ucap Vino mengingatkan.
“Hem, bagaimana bila besok ada yang terlambat, Push-up dua puluh lima kali?” ucap Ito menyarankan.
“Oke. Siapa takut,” ucap Faldi sedikit percaya diri. Benar saja hanya Faldi yang tidak gentar melihat hukuman fisik seperti itu, toh ia yang memiliki tubuh paling lumayan.
“Udah dulu ya, aku pulang dulu. yuk, Mir. Duluan ya, Di’, To’,” ucap Cici mulai berjalan kearah rumahnya.
Pukul 06.30, anak anak Tiger mulai berkumpul satu persatu. Tapi sampai sekarang belum terlihat Made dan Amir. Tapi Cici sudah ada di lapangan sejak tadi, tidak biasanya Cici tak bersama Amir.
“Amir, kemana? Biasanya bersamamu?” Tanya Ito sambil berjalan mengahampiri Cici.
“Sengaja, aku tidak berangkat bersamanya tadi pagi. Aku ingin melihatnya Push-up,” ucap Cici sambil tertawa.
“Pantas saja sedari tadi kau senyum-senyum sendiri. Sudah hampir jam tujuh, kemana sih Amir,” ucap Ito menengok jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
“Made juga belum terlihat batang hidungnya,” ucap Erga menimbali. Setelah hampir menungggu lima belas menit, akhirnya anak-anak Tiger memulai pergerakan pemanasan.
“Hossh...hossh, sorry..gua telat.. hossh,” ucap Amir tersenggal-senggal setelah berlari.
“Aku juga minta maaf, tadi aku disuruh ayah dulu sebelum kesini,” ucap Made menunduk merasa bersalah, tapi kepada siapa dia harus patuh, toh kaptennya saja juga terlambat.
“Ayo...sesuai perjanjian. Dua puluh lima kali. Ngapain teman-teman?” ucap Ito. “Push-up!” ucap Vino paling keras, dan mau tidak mau Amir dan Made harus menerima sangsi.
“Nah, gitu dong. Besok terlambat lagi ya,” goda Ito saat mengetehui Amir sudah menyelesaikan hukumannya. Mereka membubarkan diri pada pukul sepuluh pagi. Seperti biasa Ito selalu pulang seorang diri. Tapi tak disangka ternyata Wati mengikutinya,
“Untuk apa kau mengikutiku?” tanya Ito saat mengetahui bahwa Wati sedari tadi berjalan dibelakangnya.
“Cih, siapa yang mengikutimu. Aku hanya ingin memperingatkanmu,” ucap Wati ketus seperti biasanya.
“Tentang cintamu, hati-hati saja. Kelihatannya Amir makin lengket dengan Cici,” tambahnya.
“Tidak, jelas saja mereka dekat, mereka bertetangga. Apalagi mereka bersahabat,” ucap Ito yang mulai mendengarkan Wati.
”Eeittss... cinta itu bisa datang karena terbiasa. Hem sudah ya, aku pulang dulu,” ucap Wati tidak mengambil jalan didepan Ito, melainkan berbalik arah dengan tujuan Ito, karena memang rumah Wati bukan daerah rumah Ito. Dan sejenak, Ito sempat termakan bualan Wati.
“Bagaimana bila Wati benar, mereka kerap sekali bersama. Hanya pagi ini saja aku melihat Cici berjalan kelapangan seorang diri. Aakkrrhhh,” batin Ito memandang langit-langit kamarnya. Merasa frustasi karena termakan omongan panas Wati.
“Bodoh juga aku bila memikirkannya.” ucap Ito mulai membaca komiknya agar tidak berfikiran hal-hal yang tidak mungkin terjadi antara kedua sahabatnya tersebut. Tapi siapa yang tahu hati orang? Sebesar apapun Ito mencoba tidak memikirkannya. Semakin besar juga rasa penasarannya.
“Daripada memikirkan mereka, lebih baik aku menyiapkan strategi untuk perlombaan besok,” ucap Ito semangat membuka komputernya. Tak lama Ito dapat melupakannya. Tok tok tok... cklek. Amir langsung masuk kekamar Ito.
“Kau sedang apa?” tanya Amir penasaran.
“Melakukan tanggung jawabku,” ucap Ito tidak saeperti biasanya.
“Kenapa kau kesini? Kemana kekasihmu? Tidak kau temani?” ucap Ito. Amir sedikit bingung, kemana arah pertanyaan sahabatnya ini.
“Maksudmu? Aku kesini ya..ya untuk main. Tidak boleh? Lalu, siapa yang kau maksud kekasihku?” Amir mendekati bangku Ito.
“Kau kenapa bung?” Tanya Amir sambil menepuk bahu sahabatnya.
“Tak apa. lupakan. Mungkin aku terlalu lelah. Maaf tadi aku bicara yang bukan-bukan,” ucap Ito sembari menghela nafas berat. Menyesali dirinya sendiri, mengapa ia bisa melontarkan kata-kata yang tak pantas untuk sahabatnya sendiri dan dengan kata lain, ia sudah tidak mempercayai sahabatnya sendiri.
“Tuhan, mohon maafkan aku. Telah menaruh curiga pada sahabatku sendiri,” batin Ito setelah mendengar langkah Amir menjauh.
“Ayo. Kalian harus semangat! Jangan sampai kalah dengan kesebelasan Lion. Oke!” ucap Cici disaat latihan terakhir.
“Ya kita akan menang bila memiliki supporter seperti ini. Iya tidak teman-teman?” ucap Made yang itu jelas membuat Cici menampakan rona merah dipipi Cici.
“Ya sudah. Sekarang kita pulang, istirahat yang cukup agar besok bisa bermain semaksimal mungkin,” lagi-lagi Amir tak bosan-bosannya memberi semangat. Satu persatu anak-anak Tiger berpamitan. Tiba-tiba saat Ito akan berniat meninggalkan Lapangan Made menahan langkahnya.
“Ito, bolehkah aku bertanya?” Tanya Made sedikit membuat Ito bertanya-tanya. Karena ditempat masih ada dilapangan mengamati mereka dan sekaligus ikut mendengarkan penjelasan Made.
“Mana mungkin aku bisa membuat kesalahan? Berulang kali aku membuatkan strategi bermain untuk Tiger. Tidak ada satu pun yang gagal,” ucap Ito tidak terima saat strateginya kali ini dikritik oleh kawannya.
“Lagian siapa kamu, anak baru berani-beraninya memberiku kritik,” ucap Ito sedikit emosi.
“Tapi... sepertinya ada benarnya juga. Sebaiknya kita tempatkan Made didepan karena tendangannya juga lumayan,” ucap Faldi ikut bicara.
“Ah, kalian! Kalian mau mengganti strategi yang telah aku buat, he?” ucap Ito yang sekarang benar-benar emosi.
“Tidak. Tidak, To. Tidak ada yang bilang bila strategimu buruk atau gagal, hanya saja kau harus merubahnya sedikit,” ucap Amir dengan sabar dan penuh pengertian.
“Tenanglah... dan pikirkan kembali. Mungkin kau terlalu lelah membuat strategi ini,” saran Faldi bersamaan dengan ia meminta ijin untuk pulang.
“Sebenarnya aku ini kenapa? Mengapa akhir-akhir ini aku mudah sekali emosi,” batin Ito pada dirinya sendiri sambil menyadarkan punggungnya pada tiang gawang. “Sudahlah.. ayo kita pulang.” ucap Cici menengahi.
Pukul delapan pagi, lapangan balai desa sudah penuh dengan penonton yang berjejal berusaha mendapatkan tempat duduk.
“Sudah kau pikirkan pendapat Made, To?” ucap Cici ketika menemukan Ito sedang melamun dibangku penonton. Ito hanya diam.
“Aku fikir, tak ada salahnya kau pindah saja Made dengan Vino, atau Adit,” ucap Cici yang sepaham dengan Amir dan yang lain. Ito meninggalkan Cici tanpa mengatakan satu katapun.
“Bagaimana?” tanya Faldi berharap ada jawaban yang ia harapkan. Tapi kenyataanya tidak. Cici hanya mengangkat bahunya pelan.
“Aku sudah berusaha,” ucap Cici menampakan keputusasaan. Permainan diawal terlihat sangat menguntungkan bagi kesebelasan Lion. Dan benar saja, beberapa kali anak-anak Tiger mencoba memasukan bola kedalam gawang Lion, tapi tiada hasil. Berbanding terbalik dengan Lion. Mereka berhasil mencetak gol dengan mengandalkan Alif. Dengan Terpaksa Made yang berada diposisi pertahanan maju untuk menembak. Dan Yup. Dia dengan mudah melumpuhkan Galih, penjaga gawang Lion. Sepuluh menit setelah skor satu sama, terdengar tiupan peluit, menandakan waktu istirahat.
“Hem, semuanya. Aku..aku minta maaf. Aku menyesal tidak mendengarkan ide brilian kalian,” ucap Ito sambil menundukan kepalanya.
“Baiklah. Tak apa. Jadi...apakah sekarang....?” ucap Amir sengaja digantung. Ito pun hanya menganggukan kepalanya. Made yang melihatnya langsung loncat-loncat kegirangan. “Oh..lihatlah, ada perubahan strategi ternyata. Dan sekarang yang berada diposisi depan adalah Made,” mendengarnya pernyataan mc Cici ikut terharu.
“Aku tahu akan begini,” batin Cici kembali semangat dan ada rasa lega. Cici berteriak lebih seru lagi. Karena percaya pada Tiger, mereka pasti menampilkan kemampuan maksimal mungkin.
“Maaf kawan. Mungkin bila kuubah dari awal, tidak mungkin jadi begini,” ucap Ito benar-benar menyesal. Memang Tiger bermain maksimal, tapi dari awal Tiger sudah salah strategi. Mungkin bukan salah, hanya sedikit keliru.
“Sudahlah. Permainan kalian sangat bagus. Aku salut pada kalian. Tigeeerrrr,” ucap Amir sambil mengucapkan yel-yel untuk Tiger. Dan semuanya pun menjawab “Haauummm...,” bila Tiger sudah bicara yel-yel, mereka pasti saat lihai untuk menirukan suara Macan Asia. Dan ujung-ujungnya pasti Cici yang akan terkekeh geli karena melihat tingkah lucu teman-temannya.
Dan begitulah persahabatan. Kadang muncul begitu kuat rasa percaya dan persaudaraan. Tapi tidak mununtut kemungkinan curiga juga akan ikut meramaikan apa itu yang disebut persahabatan.
`^.^` ~~~ End ~~~ `^.^`
0 komentar:
Posting Komentar