Kau Dan ACI
I
Love Indonesia. Aku akan tetap mencintaimu, Negaraku..
Tempat
Dimana aku dilahirkan. Betapa harumnya namamu didadaku... Indonesia
Tapi
harum namamu seakan pudar saat aku mengetahui Dikka tidak lagi
menjadi Warga Indonesia atau WNI. Ya kami memang sering sekali
mengunjungi negara tetangga, karena kami tinggal diperbatasan. Tapi
tak pernah sekalipun tersebesit keinginan untuk merubah jatidiriku
“daripada
kita terus-terusan disini, tidak tahu mau berbuat apa? Lebih baik aku
menjadi WNA!” itu kata Dikka saat aku mengetahui kartu tanda
penduduk temanku itu berubah menjadi WNA atau Warga Negara Asing.
“Tapi
Dikka, ingatlah bila kita berusaha, kita akan bisa membangun
Indonesia yang lebih dari sekarang ini. Ayolah, jangan mencari jalan
pintas. Ayo kita mencari jalan keluarnya” Saranku untuknya. Dan
sepertinya Dikka masih dapat berfikir dengan akal sehatnya. Ia
mengangguk pelan. Setela ia menelaah setiap perkataanku.
Keesokan
harinya Ari mengjak kami untuk bermain. Sepak bola, ya.. permainan
favorit kami. Walaupun kami hanya bermain dilapangan desa, tapi kami
sangat menikmatinya. Tapi baru sebentar kami bermain, bahkan belum
ada satu tendanganpun yang mencoba membobol gawang yang aku jaga,
Made datang. Meminta ijin pada Ari untuk bergabung. Aku hanya
mengamati dari jauh. Dan sepertinya Ari menyetujuinya. “Gooool.”
Tak lama kami bermain terdengar teriakan panjang dari Made karena dia
bisa membobol pertahananku. “kau hebat Made.” Puji Ari pada Made.
“waw. Bila bola tadi mengenaiku, itu akan sangat sakit.” Ucapku
sembari tersenyum. Godaanku hanya dibalas senyum tipis dari Made.
Kami mencari tempat duduk yang teduh setelah puas bermain sepak bola
yang sedikit menguras tenaga. “aku akan cari minum dulu.” Ijin
Made kapada kami. “Dingin ya, De!” Teriak Ari yang sedikit
membuat telingaku membengkak. Aku memukul pelan lengannya, tapi
bukannya minta maaf dia malah hanya menertawakanku yang sedang
memegang telingaku, menutupinya dengan telapak tanganku. Sunyi
menyapa, sepertinya kami bertiga sedang menikmati semilir angin yang
sedari tadi menerpa kami. “kenapa kau bolehkan Made ikut, Ri?”
Ucap Dikka tiba-tiba, sontak saja membuat aku dan Ari tertawa dan
sekaligus bingung kemana arah pertanyaan yang Dikka katakan.
“maksudmu?” Ucap Ari balik bertanya setelah menghetikan tawanya.
“ya..ya..kau tahukan dia bukan dari desa kita, bahkan dia berasal
dari Provinsi lain.” Ucap Dikka sambil mengamati Made yang sedang
ada diujung lapangan. “lalu, dimana letak permasalahannya, Dik?”
Ucapku sedikit bingung. “iya, sepertinya tidak ada masalah
apa-apa?” Ucap Ari juga bingung. “maksudku, diakan bukan dari
desa kita, kita seharusnya hanya bermain dengan anak-anak sekitar
sini saja. Seperti Vino, Panji, atau Budi. Mereka kemana sih, jam
segini belum juga datang.” Ucap Dikka sambil melihat jam tangan
yang ia kenakan. “oh, aku belum memberitahumu ya, mereka sedang
berlibur. Sudahlah, itung-itung Made itu sebagai pengganti mereka.”
Ucapku sambil menepuk pundak Dikka. Tak terasa ternyata Made kini
sudah berada di dekat kami. Made pun membagikan Minum yang tadi ia
beli, memang ia sengaja membeli lima. Karena tahu Ari akan minum
lebih banyak air setelah mendi keringat seperti sekarang. “Ayo kita
main lagi” ajak Made pada dua kawan barunya. Ya...kawan baru,
karena ia baru saja pindah kedesa kami seminggu yang lalu. Tapi
mendengar ucapan Made, Dikka malah berjalan menjauh. “kenapa dia?”
Tanya Made bingung melihat sikap Dikka. Aku dan Ari hanya sedikit
mengangkat bahu.” Tak tahu. Sudahlah mungkin dia lelah. Ayo kita
main lagi.” Ucapku sembari berjalan ketengah lapangan.
Tak
terasa hari mulai gelap, bulan pun bersiap untuk menggantikan
matahari. “Dikka...Dikka...” Ucapku dan Ari bersamaan saat kami
berada didepan rumahnya. “ya sebentar.” Ucap mbak Aci, kakak
Dikka. Setelah pintu terbuka, mbak Aci langsung saja mengerti kenapa
kami datang berkunjung. “Dia, ada dikamarnya. Masuk saja. Suruh
juga dia makan.” Ucap Mbak Aci sedikit kesal. “memangnya dia
belum makan mbak?” tanyaku. “entah, setelah ia bermain, dia
langsung masuk kekamarnya, bermain dengan Laptopnya. Nanti coba ajak
dia ya, Dit, Ri. Mbak tinggal dulu.” Ucap mbak Aci pada kami. “Dik,
lagi apa?” Ucap Ari dan langsung masuk kemar Dikka, baru setelah
Ari masuk, aku juga mengikutinya masuk kamar Dikka. “ini, lagi
nyiapin strategi buat besok lomba.” Ucap Dikka sambil memandang
kedua teman dekatnya. “oh, pantas saja kau sampai lupa makan.
Makanlah dulu.” Ucapku mengerti kebiasaanya yang selalu lupa waktu
bila sudah membahas tentang bola. “hem, Dikka... aku tahu alasanmu
kurang suka pada Made. Mungkin masalah waktu saja kawan. Besok Erga
dan Faldi berjanji akan ikut berlatih. Juga Made, karena dia sekarang
sudah resmi masuk kesebelasan tim kita.” Ucap Ari panjang lebar,
memang hak seorang kapten untuk menunjuk siapa saja yang akan menjadi
anggota timnya. “Ahhh.. Ri, tidak ada yang lain apa? Yang satu
desa?” Ucap Dikka mulai kesal. Ari hanya menggelangkan kepalanya
melihat reaksi kawannya. Ternyata benar apa yang aku dan Ari
diskusikan tadi. Dikka tidak suka bila kita bergaul dengan Made yang
notabenya sebagai teman yang berbeda domisili. “tidak bisa.
Keputusanku sudah bulat. Sudah ya, kami mau pamit pulang dulu. Jangan
lupa makan, jangan sampai besok kau yang absen berlatih.” Ucap Ari
sebelum pulang. Kutepuk pundak Dikka sebelum aku mengikuti langkah
Ari keluar kamar Dikka.
“Dikka,
makan yang banyak! Dan habiskan itu.” Ucap mbak Aci yang kesal pada
Dikka. “iya. Nambah kok nanti.” Ucap Dikka sambil menghentikan
sejenak acara makannya. Mbak Aci hanya tersenyum melihat Dikka lahap.
“Dikka, berapa nilai mata pelajaran Kewarganegaraanmu?” Tanya
mbak Aci. “terakhir tertinggi dikelas. 96. Ada apa?” Ucap Dikka
cuek. “hem..kau tahu daerah mana itu Bali?” tanya mbak Aci degan
sedikit menyelidik. “tahu.”. “negara mana itu? Masihkah masuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia?” Ucap Mbak Aci yang hanya
dijawab dengan anggukan oleh Dikka. “lalu bila arti kata ‘Bhinekka
Tunggal Ika’ ?” Ucap mbak Aci lagi. “kak, memangnya kakak tidak
tahu? Bahkan anak SD saja tahu apa arti kata tersebut. Artinya adalah
‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’. Eh salah ya,
‘berbeda-beda tetapi tetap satu’.” Ucap Dikka sambil tersipu
malu. “lalu bagaimana kau mengamalkan arti kata tersebut? Mengapa
kau menjahui Made. Dia juga berasal dari Indonesia. Terimalah
sebagaimana kau menerima teman-temanmu yang lain. Kau tahu Vino?
Bukankah dia bukan asli warga Indonesia. Erga... dia juga. Bukan asli
desa sini. Lalu mengapa kali ini, Made.. kau perlakukan lain. Dik,
kita ini satu. Satu kesatuan. Satu Negara. Cobalah Hargai Kebudayaan
Made, dari mana dia berasal. Ingatlah. Kita juga bukan asli penduduk
disini, hanya saja karena kita sudah lama trasmigrasi disini, kita
boleh dibilang warga desa sini. Oke Dik. Minta maaflah pada Made. Dia
anak yang baik.” Ucap mbak Aci panjang lebar.
“pukul
berapa ini. Kenapa Ari belum juga datang.” Ucapku kesal menanti
kapten kami. “Adit! Sorry gue telat. Tadi barusan bangun.” Ucap
Ari padaku. “jujur banget alesannya.” Ucap Dikka sambil berdiri
mengambil bola. “Made?” tanya Dikka pada Ari. “eh, tadi dia
sedang on the way. Ayo pemanasan dulu.” Ucap Ari sambil sedikit
tersenyum mendengar Dikka mencari Made. “itu dia. Ayo!” Ucap
Faldi sambil menunjuk kearah dari mana Made datang. “oke. Karena
seminggu lagi kita akan bertanding antar desa. Mari kita berlatih
lebih giat.” Ucap Ari memberi semangat pada timnya. Empat Puluh
menit kami berlatih Ari mengisyaratkan kepada kami untuk istirahat.
“aduh badanku sakit semua. Made, tendanganmu keras sekali.
Sebaiknya kau jadi kapten kami.” Ucapku sambil sedikit melirik Ari.
“haha.. iya. Lihat sepertinya Adit benar-benar kesakitan. Haha.”
Ucap Dikka dan sontak saja membuat kawan-kawannya tertawa. Made hanya
tersenyum menaggapi pujian kawan-kawannya.
“huh
aku jadi gugup.” Ucap Vino sambil meregangkan otot-ototnya. “aku
juga, kenapa ya? Debar jantungku juga sangat cepat.” Ucap Erga
menimbali perkataan Vino. “percaya diri saja. Menang atau kalah itu
hanya urusan kelima belas. Yang penting kita kompak, dan menunjukan
skill kita diluar sana. Oke!” Ucap Ari menenagkan anggotanya yang
tegang. Kami keluar dari kamar ganti setelah terdengar suara wasit
pun terdengar memanggil nama tim kami. Dan tada... kami datang dengan
juara ketiga. Setelah kami memasuki kamar ganti lagi, terlihat Dikka
mencoba berbincang dengan Made. “De, Sorry, aku pernah ada perasaan
tidak suka denganmu, karena domisilimu. Tapi... tapi sepertinya aku
baru sadar. Bahwa kak Aci benar. Kita satu negara. Satu kesatuan.
Yang seharusnya tidak aku membeda-bedakannya.” Ucap Dikka sambil
sedikit menunduk. “tak apa. Apakah itu arti dari ‘Bhinekka
Tunggal Ika’ ?” Tanya Made pada Dikka. “ya.. ‘Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh’.” Ucap Dikka dengan keras.
“‘berbeda-beda tetapi tetap satu’ Dikkaaa!” Ucap kami
bersamaan. Dikka hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“hahhahaaa...” Tawa kami bersama terdengar sangat keras. Kerena
kami sedang kur tertawa.
Cintailah
indonesia, juga apa-apa yang ada didalamnya, baik suku-sukunya,
kebudayaannya, and Everythink about Indonesia, cobalah menerima
kenyataan bahwa Negara Indonesia, Negara yang kita cintai ini
didalamnya terdapat banyak sekali ragam suku dan budaya. Mari kita
hargai itu. My Indonesia. My Country. Forever.
I
Love Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar